SEJARAH
SENI REAK DI DESA CINUNUK , KABUPATEN BANDUNG
Kurang
lebih sebelum zaman Kemerdekaan Republik Indonesia telah ada kesenian reak yang
berkembang di daerah Ciguruwik Kabupaten Bandung, Reak berasal dari kata “ ngareah-reah “ atau “ngaramekeun”, memeriahkan, meramaikan.
kesenian reak di ciguruwik ini berkembang tak lepas dari peranan sosok Abah
Juarta, beliau adalah orang yang pertama membuat grup kesenian reak di daerah
ciguruwik ini. Pada awalnya reak menggunakan waditra dogdog 5 (tilingtit, tong,
brung, bangplak dan bedug), angklung, kecrek dan tarompet pencak, penari
topeng, bangbarongan dan penari kukudaan.
Reak ini berfungsi sebagai
kesenian yang mengiringi arak-arakan petani ketika panen, yaitu ketika para petani
memganggkut hasil panennya menuju leuit
( lumbung padi ), sepanjang jalan dari sawah menuju leuit mereka di meriahkan dengan kesenian reak ini
. Seiring berjalannya waktu, karena kesenian reak ini mendapat respon yang baik
dari masyarakat, banyak yang meminta menjadi pengiring atau pengarak anak
khitanan mengelilingi kampung menggunakan jampana atau kursi yang bisa di
gotong. setelah anak khitanan diarak mengelilingi kampung lalu ketika sampai
di rumah anak khitanan, reak ini dimainkan sebagai hiburan masyarakat
sekitar .
Kesenian reak ini mempunyai nilai filosofis yang
sangat tinggi, nilai filosofis tersebut terdapat pada bunyi waditra dogdog 5
tersebut yaitu, tilingtit, tong, brung, bangplak dan bedug. tilingtit biasa
ditabuh pertama, mengapa dinamakan tilingtit karena bunyi yang dihasilkan
seperti suara “tilingtingtit
tilingtingtit“ begitupun dengan tong suara yang di hasilkan berbunyi “tong
tong tong“, waditra ini di bunyikan setelah
tilingtit. Tidak jauh berbeda dengan brung, bangplak, Dan bedug, apabila di
tabuh waditra brung maka bunyi yang keluar adalah suara seperti “brung brung brung“, ketika
bangplak dimainkan pun suarnya “bang” apabila dilepas, dan apabila di tengkep
menghasilkan suara plak, ketika menabuh bedug pun yang keluar hasilnya suara “dug dug dug”, maka pemeberian nama waditra tersebut berdasarkan suara yang di
hasilkannya atau dalam bidang linguistik disebut onomatopoik.
Susunan pola tabuh reak dalam pertunjukannya yaitu pertama tilingtit. Lalu di ikuti oleh tong, brung, bangplak dan bedug. Dari susunan pola tabuh tersebut konon katanya, pola demikian mempunyai arti yakni tilingtit yang berarti gera indit gera indit , tong memiliki arti entong, suara dari waditra brung yang mengartikan embung, bangplak memiliki arti gera prak dan bedug memiliki arti dengan seruan atau perintah untuk shalat, Jadi apabila digabungkan memiliki arti “ gera indit gera indit, ulah emung ulah embung , prak gera gumamprak ka gusti Allah lamun geus asup waktuna shalat ” atau dalam bahasaa inbdonesianya yaitu "cepatlah berangkat jangan sampai tidak mau untuk melakukan shalat jika telah masuk tanda waktunya untuk shalat.
Susunan pola tabuh reak dalam pertunjukannya yaitu pertama tilingtit. Lalu di ikuti oleh tong, brung, bangplak dan bedug. Dari susunan pola tabuh tersebut konon katanya, pola demikian mempunyai arti yakni tilingtit yang berarti gera indit gera indit , tong memiliki arti entong, suara dari waditra brung yang mengartikan embung, bangplak memiliki arti gera prak dan bedug memiliki arti dengan seruan atau perintah untuk shalat, Jadi apabila digabungkan memiliki arti “ gera indit gera indit, ulah emung ulah embung , prak gera gumamprak ka gusti Allah lamun geus asup waktuna shalat ” atau dalam bahasaa inbdonesianya yaitu "cepatlah berangkat jangan sampai tidak mau untuk melakukan shalat jika telah masuk tanda waktunya untuk shalat.
Setelah Abah juarta Wafat, Grup kesenian reak ini dilanjutkan
oleh anak dan cucunya, yang dulunya grup kesenian ini bernama “REAK JUARTA”
sekarang diganti menjadi lingkung seni reak “JUARTA PUTRA”. Salah satu
keturunannya yaitu Cucu Dari Abah juarta yang masih melestarikan keseninan reak
ini adalah bapak Undang Suparman (63) yang beralamat di Kp. Ciguruwik, Ds
Cinunuk, Kab Bandung.
(Sumber : Undang suparman “
Reak Juart Putra “ )