Selasa, 23 Juli 2013

sejarah reak di desa cinunuk



SEJARAH SENI REAK DI DESA CINUNUK , KABUPATEN BANDUNG
Kurang lebih sebelum zaman Kemerdekaan Republik Indonesia telah ada kesenian reak yang berkembang di daerah Ciguruwik Kabupaten Bandung, Reak berasal dari kata “ ngareah-reah “ atau  ngaramekeun”, memeriahkan, meramaikan. kesenian reak di ciguruwik ini berkembang tak lepas dari peranan sosok Abah Juarta, beliau adalah orang yang pertama membuat grup kesenian reak di daerah ciguruwik ini. Pada awalnya reak menggunakan waditra dogdog 5 (tilingtit, tong, brung, bangplak dan bedug), angklung, kecrek dan tarompet pencak, penari topeng, bangbarongan dan penari kukudaan.  Reak ini berfungsi sebagai  kesenian yang mengiringi arak-arakan petani ketika panen, yaitu ketika para petani memganggkut hasil panennya menuju leuit ( lumbung padi ), sepanjang jalan dari sawah menuju leuit mereka di meriahkan dengan kesenian reak ini . Seiring berjalannya waktu, karena kesenian reak ini mendapat respon yang baik dari masyarakat, banyak yang meminta menjadi pengiring atau pengarak anak khitanan mengelilingi kampung menggunakan jampana atau kursi yang bisa di gotong. setelah anak khitanan diarak mengelilingi kampung lalu ketika sampai di rumah anak khitanan, reak ini dimainkan sebagai hiburan masyarakat sekitar .
Kesenian reak ini mempunyai nilai filosofis yang sangat tinggi, nilai filosofis tersebut terdapat pada bunyi waditra dogdog 5 tersebut yaitu, tilingtit, tong, brung, bangplak dan bedug. tilingtit biasa ditabuh pertama, mengapa dinamakan tilingtit karena bunyi yang dihasilkan seperti suara  “tilingtingtit tilingtingtit“ begitupun dengan tong suara yang di hasilkan berbunyi “tong tong tong“, waditra ini di bunyikan setelah tilingtit. Tidak jauh berbeda dengan brung, bangplak, Dan bedug, apabila di tabuh waditra brung maka bunyi yang keluar adalah suara  seperti “brung brung brung“, ketika bangplak dimainkan pun suarnya “bang” apabila dilepas, dan apabila  di tengkep menghasilkan suara plak, ketika menabuh bedug pun yang keluar hasilnya suara “dug dug dug”, maka pemeberian nama waditra tersebut berdasarkan suara yang di hasilkannya atau dalam bidang linguistik disebut onomatopoik. 
Susunan pola tabuh reak dalam pertunjukannya yaitu pertama tilingtit. Lalu di ikuti oleh tong, brung, bangplak dan bedug. Dari susunan pola tabuh tersebut konon katanya, pola demikian mempunyai arti yakni tilingtit yang berarti gera indit gera indit , tong memiliki arti entong, suara dari waditra brung yang mengartikan embung, bangplak memiliki arti gera prak dan bedug memiliki arti dengan seruan atau perintah untuk shalat, Jadi apabila digabungkan memiliki arti “ gera indit gera indit, ulah emung ulah embung , prak gera gumamprak ka gusti Allah lamun  geus asup waktuna shalat ” atau dalam bahasaa inbdonesianya yaitu "cepatlah berangkat jangan sampai tidak mau untuk melakukan shalat jika telah masuk tanda waktunya untuk shalat.
Setelah Abah juarta Wafat, Grup kesenian reak ini dilanjutkan oleh anak dan cucunya, yang dulunya grup kesenian ini bernama “REAK JUARTA” sekarang diganti menjadi lingkung seni reak “JUARTA PUTRA”. Salah satu keturunannya yaitu Cucu Dari Abah juarta yang masih melestarikan keseninan reak ini adalah bapak Undang Suparman (63) yang beralamat di Kp. Ciguruwik, Ds Cinunuk, Kab Bandung.
(Sumber : Undang suparman “ Reak Juart Putra “ )

3 komentar:

  1. Sampurasun Sunda
    hana nguni hana mangke tan hana nguni tan hana mangke,,, rahyang sora pagendingan,, Talungtik, kalayan apik,, supados karya salira teu obah ku jaman ..RAHAYU JATI SUKMA SUNDA..TARALI KOLOT TATAR PASUNDAN

    BalasHapus